Pagi ini, saya membaca status facebook dosen saya yang menyebutkan bahwa Prof. Sajogjo meninggal dunia di RS PMI Bogor. Nama Prof. Sajogyo memang tidak asing bagi saya, meski saya belum pernah bertemu langsung, tapi dosen "Dasar-Dasar Komunikasi" saya sering sekali menceritakan tentang beliau. Menurut sumber yang saya baca, Prof. Sajogyo adalah seorang sosiolog pedesaan yang sangat peduli dengan pertanian dan sosio ekonomi.
Sosiolog yang satu ini memang berbeda pemikirannya jika kita bandingkan dengan para sosiolog yang lain. Sajogyo yang dilahirkan di Karanganyar 21 Mei 1926, mencoba untuk lebih konsern dan mendalami sosiologi pedesaan yang menurut beliau merupakan cara untuk ikut mensejahterakan masyarakat. Seperti yang kita ketahui bahwa penduduk Indonesia sebagian besar bertempat tinggal di daerah perdesaan dan mempunyai mata pencaharian sebagai petani, Sehingga menurut Sajogyo wilayah perdesaanlah yang harus menjadi basis penelitian para sosilog.
Sajogyo yang merupakan anak dari salah seorang guru bahasa Belanda, mengenyam pendidikan dasar dan menengahnya di daerah Purwokerto dan melanjutkan sekolah menengah atas di Yogyakarta. Setelah menamatkan SMA di Yogyakarta, beliau meneruskan pendidikan tingginya di Bogor, tepatnya di Fakultas Pertanian UI tahun 1950 (yang sekarang telah menjadi Institute Pertanian Bogor). Disaat teman-teman seperjuangannya menamatkan S1-nya selama kurang lebih 7 tahun, berbeda dengan Sajogyo yang berhasil menyelesaikan studi S1 nya hanya dalam waktu 5 tahun dengan skripsi dan penelitian dibawah bimbingan Prof. Wertheim (yang saat itu merupakan Guru Besar Tamu di Indonesia).
Karena kepandaian dan kecerdasannya, Sajogyo yang bernama asli Kamto Utomo ini dipromosikan oleh Prof. Wertheim untuk melanjutkan pendidikannya menjadi Doktor. Dalam setiap penelitiannya, Sajogyo selalu mencoba melihat pertanian dari sudut sosial-ekonomi, karena menurutnya pertanian itu bukan hanya masalah budidaya saja, tetapi juga menyangkut masalah interaksi sosial dan juga ekonominya. Sayogyo yang selalu menjadi mahasiswa kebanggaan Prof. Wertheim karena fokus penelitiannya terhadap masyarakat kecil pada wilayah perdesaan berhasil merumuskan Standar Garis Kemiskinan di Indonesia berdasarkan konsumsi bahan pokok yaitu beras perkapita selama setahun yang kemudian menjadi rujukan bagi Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mengukur Standar Garis Kemiskinan di Indonesia.
Sosok Sayogyo bukanlah orang yang serba tahu, tapi merupakan orang yang selalu ingin tahu dan beliau juga dikenal sebagai seseorang yang selalu berpikir jauh kedepan. Jika kita hanya sempat berpikir tentang hari kemarin, hari ini dan esok tapi beliau telah jauh berlari berpikir ke masa depan. Hal ini terlihat saat ia sedang mengenyam pendidikan Post Doktoral di University of Chicago. Saat itu di Indonesia sedang terjadi “Revolusi Hijau” yang merupakan tujuan pembangunan pertanian di Indonesia, sehingga peristiwa ini menginspirasi beliau untuk menyelesaikan tulisannya yang berjudul “Modernization Without Development”. Tulisan ini berisi tentang revolusi hijau yang sedang terjadi di Indonesia yang semakin memiskinkan petani miskin dan menciptakan petani tanpa lahan, dan sebaliknya malah melahirkan petani golongan atas yaitu orang-orang yang memiliki modal besar yang memanfaatkan lahan pertanian untuk kepentingannya sendiri. Keberhasilan Sajogyo dalam bidang penelitian masyarakat perdesaan yang sering dianggap termajinalkan, telah membawa Sajogyo menjadi seorang ilmuwan yang dibanggakan oleh Indonesia, bahkan dunia internasional pun mengakui kehebatan dari seorang sosiolog “rakyat kecil” ini.