Apa yang ada di benak Anisa (ITP/45) dan 3 orang tim penelitian beras analognya ketika seorang menteri BUMN Dahlan Iskan berencana memboyong mereka keluar negeri untuk menuntut jenjang pendidikan yang lebih tinggi? Semua terjadi begitu saja ketika Anisa memaparkan presentasi singkat mengenai beras analog untuk menjawab tantangan Dahlan terkait alternatif pengganti karbohidrat yang serupa dengan beras tetapi bukan beras untuk kemudian dikembangkan di Sorong, Papua. Beras analog merupakan salah satu alternatif diversifikasi pangan dimana komposisi karbohidrat dapat ditukar dengan jagung, sagu atau sorgum juga merupakan beras yang direkayasa untuk pengobatan berbagai penyakit seperti diabetes. Beras hasil penelitian yang memang difokuskan untuk diversifikasi pangan ini sudah menjalani masa uji selama satu tahun penelitian. Tak lama botol seukuran kecil berisi beras analog berpindah ke tangan Dahlan dan Menteri Negara BUMN itu serta merta berteriak girang.
"Bapak Rektor, saya mau minta ijin kepada bapak untuk memboyong Anisa dan tim penelitiannya ke luar negeri. Berangkat besok pagi pun saya siap.."
Riuh tepuk tangan kemudian menggema di seantero Graha Widya Wisuda, Institut Pertanian Bogor. Hari ini, 17 April 2012 merupakan Hari Peringatan 60 Tahun Pendidikan Pertanian. Acara ini dipersiapkan dengan luarbiasa matang, penonton memenuhi semua kuota kursi sehingga ada beberapa peserta yang harus berdiri demi menyaksikan celoteh sosok fenomenal yang belakangan menantang IPB untuk membuat peralatan pertanian yang efektif dan efisien itu.
Setelah dibuka secara resmi oleh Rektor IPB Bapak Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc dengan mengutip kata-kata Dahlan Iskan "Saya BUKAN menteri, SAYA DAHLAN ISKAN!" kemudian dilanjutkan dengan pemutaran film dokumenter tentang 60 tahun Pendidikan Pertanian. Film ini cenderung spesifik pada pembangunan Institut Pertanian Bogor, pemilihan kota Bogor sebagai sentra edukasi pertanian dan mengisahkan tentang peletakan batu pertama pertanda pembangunan Institut Pertanian Bogor oleh Presiden Ir. Sukarno serta beberapa tokoh yang menjadi angkatan pertama yang menimba ilmu di IPB.
Memasuki acara inti, Dahlan Iskan yang ternyata tidak sempat menamatkan pendidikan S1 nya ini membakar semangat mahasiswa IPB dengan beberapa tantangan.
Pertama, beliau bercerita tentang rival utama pertanian Indonesia yaitu Tiongkok, dimana terjadi persaingan antara dua negara ini terutama di sentra produksi buah-buahan tropika. Dahlan kemudian memaparkan beberapa keunggulan Indonesia dalam ekspor buah-buahan tropika yang tidak mungkin terkalahkan oleh Tiongkok, kecuali produksi apel. Buah tropik merupakan kebutuhan pangan 1,3 milyar masyarakat Tiongkok yang potensial untuk diproduksi di Indonesia.
Kemudian beliau juga memaparkan tentang kegagalannya membangun sebuah perkebunan nanas di Kalimantan karena kurangnya pengetahuan beliau mengenai pengelolaan perkebunan nanas. Akibatnya, beliau rugi puluhan hektar.Tantangan Dahlan dalam hal buah tropika ini adalah dapatkah kita sebagai mahasiswa pertanian menemukan buah durian yang tidak berbau ketika dibawa di pesawat serta merevitalisasi perkebunan nanas pak Dahlan di pontianak?
Kedua, beliau memaparkan tentang rumput laut. Menurut sebuah literatur yang beliau baca tanpa disebutkan sumber pastinya, rumput laut merupakan harapan masa depan yang bisa mengentaskan kemiskinan. Rumput laut ini menjadi sumber kehidupan baru bagi nelayan untuk substitusi ikan. Namun, rumput laut baru bisa dikatakan sebagai sumber kehidupan jika kuantitas bentangannya lebih dari 2000 sehingga dengan kapasitas tersebut, budidaya rumput laut cukup untuk makan dan pemenuhan life cost lainnya. Tantangan Dahlan selanjutnya adalah bagaimana upaya optimalisasi budidaya rumput laut untuk menolong nelayan yang notabene kelas ekonomi menengah ke bawah? Beliau juga mengaku tidak mengetahui bagaimana karakteristik rumput laut yang tergolong unggul secara kualitas.
Dalam kurun waktu satu tahun ke depan, Bapak Dahlan beserta jajaran BUMN berencana untuk membangun beberapa megaproyek. Salah satu yang menjadi tantangan terbesar yang sempat dilontarkan oleh Bapak Dahlan Iskan terutama untuk mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian adalah mendesain sebuah pabrik rumput laut pertama d Indonesia yang ditempatkan di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Menurut beliau, daerah Bulukumba merupakan area yang cocok untuk budidaya rumput laut dalam skala besar mengingat secara kuantitas, bulukumba memiliki potensi rumput laut sebanyak 2000 bentangan setiap orang sehingga cukup untuk dibudidayakan lebih lanjut menjadi salah satu sektor ekonomi kelautan. Tidak tanggung-tanggung, Pak Dahlan akan memberikan hadiah mobil untuk desain ini. Sebatas desain pabrik! Pabrik yang akan mengeksplor seluruh potensi rumput laut termasuk peran ilmu pengetahuan dalam mengkonversi rumput laut menjadi komoditas tepung dengan perantara mesin. Lagi-lagi ini kesempatan untuk Fakultas Teknologi Pertanian khususnya Prodi Teknik Mesin dan Biosistem.
Singgah di Atambua, NTT beberapa waktu yang lalu, beliau bercerita bahwa keadaan disana sangatlah memprihatinkan karena tanah yang kering dan kurangnya pasokan listrik. Beliau kemudian berpikir tentang sumberdaya apa yang patut dikembangkan selain BBM atau tenaga surya untuk membangun tenaga listrik yang berskala global tetapi ramah lingkungan. Terpikir di benak beliau adalah penanaman sorgum, karena beliau pernah menanam sorgum di Tonasa, Sulawesi Selatan dan sukses karena sorgum bisa hidup pada segala jenis tanah. Sorgum juga zero waste karena buahkan dapat dikonsumsi dan batangnya yang dibakar bisa dimanfaatkan sebagai sumber tenaga listrik. Dahlan kemudian menantang mahasiswa IPB untuk menguji keberlakuan atau tingkat applicability dari sorgum sebagai sumber energi listrik tersebut untuk diterapkan di tanah NTT.
Menanggapi impor beras, Dahlan mengatakan bahwa sebagai negara agraris, beliau sangat malu dengan impor beras dan gandum. Tahun lalu tercatat sekitar 1,5 ton impor beras. Seolah-olah ilmu pengetahuan tidak bisa menyelesaikan permasalahan pertanian skala nasional. Menurut beliau, tidak terjadi keseimbangan antara penemuan-penemuan di bidang pertanian dengan aplikasinya di dunia real. Dalam hal ini, Dahlan mengaku berpegang teguh pada intensifikasi pertanian, karena menurutnya, solusi berupa ekstensifikasi pertanian lebih banyak opportunity cost-nya dibanding intensifikasi, baik dari segi biaya, luas lahan dan masa uji coba lahan. BUMN yang berada di bawah kendalinya juga telah menggalakkan program pembagian benih unggul dan pupuk gratis untuk petani. Hal ini sebenarnya dilematis karena akan menimbulkan karakter ketergantungan petani terhadap pemerintah itu sendiri.
Perubahan iklim dan pengaruhnya terhadap produktivitas pertanian juga dikemukakan dalam Talk Show selama kurang lebih dua jam ini. Di daerah Sidomanik, Medan, terdapat kebun teh yang sudah tidak diperbaharui selama 100 tahun yang membuat kebun rusak total dan kerugian besar baik secara kualitas maupun kuantitas teh yang dihasilkan. Beliau memperkirakan adanya evolusi varietas karena perubahan iklim yang tidak menentu. BUMN yang sempat ingin mengkonversi kebun teh ini menjadi kebun kelapa sawit menuai protes warga setempat. Terkait kebun teh, Dahlan juga berujar bahwa salah satu lokasi kebun teh di bandung telah rusak akibat pembangunan jalan tol di tengah kebun teh tersebut.
Megaproyek BUMN selanjutnya merupakan Program Pro Beras yang dicanangkan untuk mengganti SDM petani yang telah lanjut usia dan menggairahkan kembali semangat pertanian generasi muda. Sistem yang dijalankan disini adalah penyerahan sebagian pengelolaan lahan pertanian berupa areal sawah kepada BUMN. BUMN memang sedang fokus secara besar-besaran pada ketahanan pangan Indonesia pada tahun ini.
Saat ditanya tentang kendala SDM, beliau dengan bijak berkata,
"Saya percaya dengan SDM Indonesia jaman sekarang. Kemampuannya sudah setara dengan luar negeri dan layak dihargai. Saya yakin sebenarnya tenaga luar negeri yang dikirim ke Indonesia sebenarnya bukan tenaga ahli, karena tenaga ahli luar negeri tidak mungkin dikirim ke Indonesia. Secara kasar, sebenarnya negara kita adalah objek pembelajaran orang-orang luar negeri. Jadi, kenapa harus orang luar negeri yang belajar? Mengapa bukan kita sendiri?"
Ketika sesi diskusi dan tanggapan dimulai, berbagai tanggapan dan pertanyaan dari mahasiswa pun satu persatu dilontarkan dan beliau dengan sabar menanggapinya. Kaisar Akhir (ITK/48) mengusulkan perhatian khusus kepada microalgae karena berpotensi sebagai biofuel dan bioelectricity. Seorang mahasiswa asal Pontianak mengusulkan adanya sistem kemandirian tani dimana pemerintah memberikan bibit-bibit unggul dan peralatan pertanian dan selanjutnya diintegrasikan dengan distribusi dan konsumsi produk dengan mewajibkan setiap kepala keluarga di Pontianak membeli minimal 1 karung beras lokal.
"Harusnya ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu pertanian dapat memecahkan permasalahan di dunia pertanian. Kuncinya adalah pemilihan komoditi yang tepat dan bagaimana memanfaatkan lahan yang sama agar bisa memproduksi hasil pertanian lebih banyak tanpa mereduksi kualitas. Saya yakin, dengan IPB, mari bersama pecahkan permasalahan pertanian di Indonesia!"
Sedemikian berapi-api, beliau juga menyisipkan pesan moral bahwa semakin modern, akan semakin kecil pula ketergantungan masyarakat akan peran pemerintahnya. Jangan segala sesuatu ditumpukan kepada pemerintah karena pemerintah pun memiliki keterbatasan. Menurut beliau, kuliah sebenarnya adalah mengembangkan kapasitas berpikir sistematis dan berasaskan metodologi yang tepat secara ilmiah maupun harfiah.
"Sudah saatnya kita berkarya. Ngomel saja tidak cukup!" celetuk beliau. Mengakhiri sesi.
Source: this